Skip to main content

Dampak kebijakan BLT terhadap masyarakat



BLT dan Teori Kesejahteraan 
Fenomena pemberian BLT sebetulnya dapat ditelusuri berdasarkan dasar teori kesejahteraan (welfare theorm). Berdasarkan teori kesejahteraan, ukuran utama kesejahteraan konsumen biasanya dihitung dari besarnya tingkat consumer surplus (CS) yang diterima oleh konsumen. Namun demikian, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran bahwa ukuran utama berdasarkan consumer surplus mengandung beberapa kelemahan, para ahli kemudian mengembangkan konsep pengukuran kesejahteraan lainnya berdasarkan teori Compensated Valuation (CV) dan Equivalent Variation (EV).
Dalam Patunru, 2004 disebutkan bahwa CV dan EV sebetulnya adalah ukuran kesejahteraan untuk barang non pasar dengan premis dasar dari teori ekonomi neoklasik bahwa individu memiliki preferensi atas sejumlah barang baik barang pasar maupun non pasar dengan ukuran kepemilikan (property rights) sebagai faktor pembeda utama. Pengukuran CV didasarkan pada teori bahwa kita harus memberikan kompensasi kepada konsumen atas perubahan harga barang yang menimbulkan perubahan kepuasan dari konsumen tersebut. Sedangkan pengukuran EV didasarkan pada teori bahwa pada level pendapatan berapa yang dibutuhkan konsumen agar kepuasan di dalam mengkonsumsi barang setara dengan kepuasan awalnya
Kebijakan subsidi berbentuk bantuan langsung tunai (cash transfer) kepada keluarga miskin, tak dapat dipungkiri merupakan salah satu uji coba baru pemerintah dalam menyalurkan dana subsidi kompensasi BBM. Terdapat sejumlah resistensi dan kritik terhadap kebijakan ini. Misalnya, Astuti (2005) menyebutnya sebagai tindakan tidak kreatif dari pemerintah dan Dartanto (2005) berpendapat kebijakan ini hanya akan memberikan tekanan kepada inflasi dan tidak memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.
Banyak kalangan menyesalkan sikap pemerintah dan berpendapat seharusnya pemerintah tetap meneruskan kebijakan subsidi dalam program PKPS BBM dan bukan menciptakan kebijakan baru seperti cash transfer ini. Hasil studi LPEM FEUI (2005) juga menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kemiskinan ketika program dana kompensasi BBM diintrodusir melalui program beras miskin dan subsidi SPP. Ringkasnya, terdapat arah perbaikan ketika program kompensasi ini berjalan seperti yang ditunjukkan penurunan tingkat kemiskinan tahun 2003 dan 2004 meskipun pada tahun 2002 dan 2003 telah terjadi kenaikan harga BBM.      
Namun, ibarat dalam permainan bola, kebijakan Bantuan Langsung Tunai ini seperti ‘gerakan tanpa bola’ yang tidak diperkirakan sebelumnya. Uji coba kebijakan yang bernilai Rp 5 trilyun (termasuk dana pendataan) pada bulan Oktober ini tentunya menarik untuk diawasi dan ditunggu keberhasilannya. Kebijakan ini juga bukan barang baru dalam kebijakan subsidi dalam rangka pengurangan tingkat kemiskinan. Low et.all (1999) memberikan gambaran tentang kebijakan cash transfer di Mozambique yang dinilai mereka cukup berhasil khususnya dalam memberikan pelayanan minimum kepada orang tua, cacat dan perempuan yang kurang beruntung di wilayah perkotaan Mozambique.
Atau kasus lain cash transfer di Mexico yang dikenal dengan Progresa yaitu program bantuan tunai yang terkondisi (conditional cash transfer) untuk peningkatan SDM yang ditargetkan pada anak-anak pedesaan (Sadoulet dan Janvry: 2004). Bank Dunia memberikan catatan bahwa kebijakan ini kerap terjadi di negara maju dan mencakup lebih dari 80% penduduk di negara industri versi ILO. Terdapat sejumlah alasan mengapa negara sedang berkembang sangat sedikit program seperti ini, antara lain: terbatasnya anggaran pemerintah, besarnya sektor informal yang menyulitkan pendataan, serta kombinasi penduduk yang tersebar dan terbatasnya infrastruktur di pedesaan meningkatkan biaya administrasi dari program ini (World Bank: 2003).
Dalam kasus Mozambique terdapat pelajaran berharga bahwa keberhasilan kebijakan bantuan langsung tunai harus dirancang dengan tepat, dukungan multisektoral yang kuat secara politis serta kapasitas administrasi yang memadai merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan program cash transfer. Sadoulet dan Janvry (2004) berpendapat bahwa program conditional cash transfer (CCT) telah digunakan secara luas untuk mempengaruhi orang tua miskin untuk meningkatkan investasinya pada sumberdaya manusia anak-anaknya. Lebih lanjut, terdapat tiga aturan yang harus dipenuhi agar program CCT ini  menjadi efisien, yaitu aturan tentang seleksi orang miskin, kriteria orang miskin serta kalibrasi dana transfer.
Ternyata juga terdapat kisah keberhasilan program sejenis dengan program bantuan ini. Karenanya, terdapat kemungkinan pula program BLT ini dapat berhasil serta mengurangi keparahan akibat kemiskinan yang terjadi di republik ini. Tentunya, diperlukan usaha yang terus menerus untuk diperbaiki khususnya berkaitan dengan penentuan kriteria dan jumlah rumah tangga miskin.
Dalam keterbatasan anggaran seperti saat ini, penulis ingin merekomendasikan agar pemerintah lebih memilikirkan untuk memberikan transfer yang lebih tertarget dibandingkan dengan memberikan jumlah bantuan yang sedikit kepada jumlah yang lebih banyak. Seperti dalam kasus Progresa, dikarenakan kendala anggaran yang ketat, pemilihan keluarga yang memenuhi kriteria penerima bantuan dilakukan di antara orang miskin itu sendiri.
Bagaimana dengan rancangan dari BLT tahun 2005 ini? menurut informasi bahwa alokasi transfer kepada rumah tangga dilakukan sebesar Rp 100 ribu per bulan atau Rp 300 ribu yang jatuh tempo pada bulan Oktober ini. Dengan asumsi 15,5 juta rumah tangga penerima, maka dana yang akan disalurkan kepada rumah tangga miskin sekitar Rp 4,75 trilyun. Masih terdapat sejumlah misteri memang yang belum mendapatkan jawaban. Pertanyaan itu antara lain: apakah dasar penentuan Rp 100 ribu, mengapa jumlah tersebut diberlakukan secara seragam, serta kriteria dan penentuan jumlah rumah tangga penerima BLT. Satu kekhawatiran penulis, jika kegagalan dari program ini sangat besar, maka kepercayaan publik akan sangat menurun karena program ini sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Kebijakan BLT ini sulit akan mencapai tujuan pengurangan kemiskinan secara optimal jika tidak didukung dengan kebijakan lainnya. Ilustrasi sebelumnya, dapat saja kebijakan BLT yang ditunjukkan dengan Kartu Kompensasi BBM (KKB) diimplementasikan secara bersamaan dengan kebijakan subsidi bidang lainnya. Selain itu, lemahnya kerjasama pelaksanaan program kompensasi pengurangan subsidi BBM antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
 Selama ini kita melihat bahwa Pemerintahan SBY seperti harus menanggung sendiri jumlah dana yang disalurkan kepada masyarakat. Kita merindukan pelaksanaan kebijakan ini merupakan kebijakan pemerintah dan bukan kebijakan pemerintah pusat belaka. Sudah saatnya, pemerintah pusat dan seluruh pemerintahan daerah merupakan sebuah tim, menghadang peningkatan harga minyak dunia dan masalah yang ditimbulkannya.
Dalam kasus BLT, pemerintah Pusat dapat saja meningkatkan alokasinya lebih tertarget kepada penduduk miskin pada daerah dengan kapasitas fiskal relatif rendah serta menyerahkan pembiayaan penduduk miskin daerah kapasitas fiskal tinggi kepada daerah itu sendiri. Tentunya, di era otonomi daerah seperti ini besar kemungkinan daerah tidak mau dan lebih bersikap egois kedaerahan. Padahal, sejumlah daerah, misalnya Provinsi DKI Jakarta dengan APBD sekitar 3 kali lipat dari total BLT, rasanya tidak menemukan kesulitan untuk melakukan pembiayaan sendiri terhadap penduduk miskin di daerahnya.
Tanpa sadar memang, aliran dana kompensasi BBM kepada setiap daerah secara tidak langsung telah meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Lebih jauh, dengan perlakuan sama antar daerah kaya dan daerah miskin, hal ini menjadi boomerang terhadap ketimpangan fiskal antar daerah. Di sini dibutuhkan kerja sama antar daerah yang tinggi, jika pemerintah daerah kaya membayar sendiri dana kompensasi ini, maka daerah yang lebih miskin memiliki tambahan dana yang lebih besar lagi.
Terlepas dari sejumlah kelemahan yang ada dari pelaksanaan BLT ini, jelas program ini merupakan program baru yang tetap memiliki ruang kemungkinan untuk berhasil.

Pemerintah kembali mewacanakan sebuah ide yang cukup kontroversial terkait dengan maraknya penyuntikan tabung elpiji 3 kg dan 12 kg, yang menimbulkan teror ledakan elpiji di kalangan konsumen rumah tangga. Kontroversial mengingat pemberian BLT jilid I pada tahun 2005 dan jilid 2 pada tahun 2009 sebagai akibat dampak pengurangan subsidi BBM, masih terus menimbulkan pro dan kontra. Ide pemberian BLT elpiji pemerintah didasarkan pada rencana penyeragaman harga elpiji 3 kg dan 12 kg untuk menghilangkan disparitas harga yang cukup tinggi antara keduanya. Pemerintah menilai bahwa disparitas harga inilah yang menjadi insentif utama oknum penyuntik gas elpiji yang telah menimbulkan banyak korban di kalangan konsumen rumah tangga.

Elpiji 3 kg saat ini dijual dengan harga Rp4.750 per kg, sedangkan Elpiji 12 kg dijual dengan harga Rp5.850 per kg. Diharapkan dengan penyeragaman tersebut nantinya harga elpiji 3 kg dan 12 kg akan mencapai harga keekonomian sebesar Rp7.826 per kg. Hingga saat ini pemerintah sedang mengkaji opsi penyeragaman harga elpiji 3 kg dan 12 kg, apakah menurunkan harga gas per kg untuk tabung ukuran 12 kg sehingga sama dengan harga gas tabung 3 kg sebesar Rp4.750, atau opsi menaikkan harga tabung gas 3 kg menjadi sama dengan harga gas tabung 12 kg sebesar Rp5.850 per kg. Keseluruhan opsi tersebut tentu saja akan menimbulkan kerugian di sisi konsumen, sehingga pemerintah berencana memberikan kompensasi BLT dari hasil penghematan subsidi elpiji yang didapat. Besarnya subsidi BLT yang direncanakan nantinya sekitar Rp150 ribu per bulan, lebih besar dibandingkan besaran BLT akibat pengurangan subsidi BBM tahun 2005 dan 2008. 


BLT BBM dan BLT Elpiji

Konsep dasar pemberian BLT oleh pemerintah dalam kasus pengurangan subsidi BBM tahun 2005 dan 2008, sebetulnya mirip dengan konsep yang dijelaskan oleh teori CV. Jadi pemerintah memberikan kompensasi kepada masyarakat akibat kenaikan harga BBM sebesar Rp100 ribu per bulan, dengan tujuan mengembalikan tingkat kepuasan masyarakat yang turun akibat kenaikan harga BBM.

Berbeda dengan tujuan pemberian BLT sebelumnya, BLT elpiji yang sedang direncanakan oleh pemerintah, memiliki tujuan yang lebih luas bukan hanya sekedar mengembalikan kepuasan masyarakat akibat kebijakan penyetaraan harga tabung gas elpiji 3 kg dan 12 kg, namun lebih ditekankan pada tujuan mengurangi insentif oknum penyuntik tabung gas elpiji, yang terbukti terus menimbulkan korban ledakan setiap harinya.



Plus Minus BLT Elpiji
Dilihat dari tujuan pemberian BLT elpiji, sebetulnya ide pemerintah cukup bagus dan perlu mendapatkan apreasiasi yang mendalam. Pemberian BLT sebesar Rp150 per bulan tentu saja akan sangat membantu masyarakat pengguna elpiji setiap bulannya. Namun demikian selayaknya ide ini perlu mendapatkan kajian yang lebih mendalam khususnya terkait dengan masalah pendataan siapa saja yang nantinya berhak mendapatkan BLT ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mekanisme penyaluran BLT tahun 2005 dan 2008 sangat terkendala dengan masalah lemahnya basis data penerima BLT. 

Pemerintah juga perlu memikirkan masak-masak apakah memang sumber utama terjadinya teror ledakan tabung gas adalah maraknya praktek penyuntikan tabung gas elpiji, atau justru masalah utamanya berasal dari tidak adanya sertifikasi nasional bagi selang dan semua peralatan yang digunakan dalam tabung elpiji 3 kg dan 12 kg. Jika memang itu masalah utamanya, wacana pemberian BLT elpiji tentu saja harus dihentikan dan dialihkan pada penegakan hukum atas produsen tabung dan peralatan elpiji yang belum bersertifikasi nasional.


Penyetaraan harga elpiji seyogyanya juga disertai dengan penyetaraan struktur pasar dari gas, sehingga jangan sampai nantinya BLT sudah terlanjur diluncurkan, ternyata praktek penyuntikan tabung gas masih marak dilakukan. Jika memang nantinya hal ini yang terjadi, istilahnya pemerintah sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Setelah pemerintah memutuskan untuk menaikkan BBM, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi kebijakan turunan dari kebijakan kenaikan BBM tersebut. Kebijakan BLT yang diluncurkan pemerintah ini, menuai banyak protes mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah. Kebijakan yang sama juga pernah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2005, ketika pemerintah menaikkan BBM sebesar 126 persen.
Disatu sisi, kebijakan BLT ini mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT, kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi disisi yang lain kebijakan BLT ini memiliki dampak negatif yakni kebijakan ini akan berdampak negatif pada perilaku dan karakter masyarakat. Kebijakan ini sangat riskan menciptakan karakter masyarakat yang salalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan BBM adalah kondisi deficit keuangan negara yang semakin membengkak (bertolak belakang dengan kebijakan BLT).

BLT kebijakan Pro-Image Pemerintah atau Pro-Poor
Apabila melihat tujuan, efisiensi, efektifitas dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan yang diluncurkan pemerintah ini bukanlah kebijakan yang pro-poor melainkan kebijakan yang pro-image. Kebijakan ini ditempuh pemerintah bukan untuk menaikkan derajat kesejahteraan masyarakat miskin, akan tetapi hanya bertujuan untuk mempertahankan image pemerintah (yang baik) di mata masyarakat.
Dilihat dari tujuan kebijakannya, kebijakan BLT bukanlah kebijakan pemerintah untuk membantu dan mengangkat masyarakat (meningkatkan derajat kesejahteraan) miskin melainkan hanya sebuah keputusan politik yang berorientasi untuk mepertahankan image pemerintahan di mata masyarakat. Kebijakan politis ini terpaksa diambil oleh pemerintah sehubungan semakin dekatnya jadwal pesta demokrasi pemilu 2009.
Dilihat dari efisiensi, efektifitas dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan, kebijakan BLT masih jauh dari kategori efisien dan efektif dalam kerangka menyelesaikan kemiskinan atau bahkan kemiskinan baru yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM tersebut. Efisiensi dan efektifitas tersebut sudah dibuktikan dengan pencapaian hasil kebijakan BLT dimasa lalu (Kebijakan BLT tahun 2005) dan melihat pencapaian hasil kebijakan BLT 2005, pemerintah juga sudah merubah kebijakan tersebut menjadi kebijakan Program Keluarga Harapan.
Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup (biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan kebijakan yang hanya meberikan “ikan” bukan “kail” kepada masyarakat miskin.
Kebijakan BLT : Kebijakan Iba, bukan kebijakan untuk mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat miskin
Berbicara kemiskinan khususnya kemiskinan di Indonesia, ada dua landasan dan arah kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah. Landasan dan arah tersebut adalah membantu masyarakat miskin dengan landasan prihatin/iba dan membantu masyarakat miskin dengan landasan untuk menaikkan darajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin.
Kebijakan dengan landasan prihatin/iba diartikan sebagai kebijakan yang bersifat hanya memberi “ikan” kepada masyarakat miskin, bersifat temporer serta hanya bersifat pada rasa kasihan atau iba terhadap masyarakat miskin. Sedangkan kebijakan yang berlandaskan pada pencapaian meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin diartikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin dengan cara menigkatkan produktifitas masyarakat miskin atau dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Kebijakan tersebut juga merupakan kebijakan yang bersifat pada memberikan “kail”, bersifat long-term dan berkelanjutan.
Melihat sifat yang hanya meberikan “ikan”, bersifat temporer dan rasa kasihan/iba (kenaikan biaya hidup masyarakat miskin akibat dampak kenaikan BBM), kebijakan BLT yang diluncurkan pemerintah merupakan kebijakan yang bersifat iba dan tidak akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan di Indonesia.
Kelemahan kebijakan BLT
Berkaca pada kebijakan BLT di masa lalu (kebijakan BLT tahun 2005) banyak kelemahan-kelemahan dan masalah-masalah yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, antara lain :
1.    Kebijakan BLT bukan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menyelesaiakan kemiskinan di Indonesia, ini dikarenakan kebijakan ini tidak mampu meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan mayarakat miskin
2.    Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut
3.    Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak.
4.    Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat
5.    Peran aktif masyarakat yang kurang/minim, sehingga optimalisasi kinerja program yang sulit direalisasikan.
6.    Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin.




Penutup
Bedasarkan kebijakan yang telah di ambil oleh pemerintah,
terbukti bahwa kebijakan BLT ini belum dapat menolong orang miskin di indonesia tetapi malah memanjakan masyarakat yang banyak mengkonsumsi BBM (pada umumnya orang bermobil) dengan harga bersubsidi. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat kompleks, karena itu butuh tinjauan menyeluruh dari berbagai aspek dan sudut pandang.
            Banyak pihak menilai progam BLT tak efektif untuk mengatasi problem  kemiskinan, kenaikan BBM diyakini akan meningkatkan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan.
            Secara konseptual BLT jelas tidak feasible untuk dilaksanakan karena banyak mengandung kelemahan fundamental.
Bahwa BLT hanya sekedar memenuhi kebutuhan sesaat, karena dana tidak dipakai untuk kebutuhan produktif sehinga tidak berkelanjutan.
            Karena Presiden SBY menganut politik pencitraan, mungkin BLT semula dimaksudkan untuk menampilkan citra benevolent state, atau tepatnya Presiden yang pemurah hati. Namun dalam jangka panjang kebijakan ini menimbulkan sosio-cultural deprivation, yang justru melanggengkan kemiskinan.
            Sangat ironis, pembagian BLT menciptakan histeria massa, ketegangan sosial, konflik masyarakat dengan aparatur/kelurahan, cercaan dan kecaman kepada petugas destruktif, dn reaksi eksesif berupa perusakan dan ancaman. Truma atas kekisruhan BLT, tak heran bila banyak pemerintah daerah bahkan kepala desa dan ketua RT/RW cenderung menolak BLT.
            Kecuali alasan politis untuk meredam gejolak sosial dan siasat untuk meredakan kekecewaan dan kemarahan masyarakat. Kebijakan BLT jelas kontraproduktif. Apapun jenis charity yang dituangkan dalam suatu kebijakan yang bersifat karitatif, tak akan pernah menjawab masalah fundamental kemiskinan Indonesia. Sebaliknya yang terjadi justru pelestarian kebudayaan kemiskinan.


Comments

  1. Kunjungan Rutin Sobb, Maaf baru Berkunjung Soalnya Lagi Sibuk Nyari PKL

    Jangan Lupa Kunjugan Baliknya SOb...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENILAIAN PRESTASI KERJA DAN MANAJEMEN KINERJA

Penilaian metode dan pendekatan dalam penilaian prestasi kerja karyawan. Suatu penerapan penilaian prestasi pekerjaan dikatakan baik bila penilaian prestasi pekerjaan diarahkan bukan untuk menilai orangnya, tetapi yang kita nilai adalah hasil pekerjaan yang telah dilakukannya. Suatu proses penilaian prestasi pekerjaan dapat dikatakan baik, apabila mampu: a menghasilkan umpan balik hasil prestasi kerja yang jelas, sehingga yang bersangkutan tahu apa yang diharapkan darinya 1. PENILAIAN PRESTASI KERJA   Setelah penarikan atau pemilihan karyawan, kinerja karyawan dari periode ke periode di nilai oleh perusahaan untuk menentukan karyawan tersebut mendapatan nilai baik dalam bekerja atau tidak. Penilaian prestasi kerja (performance apprasial) adalah proses melalui mana organisasi – organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan – keputusan personalia dan memperbaiki umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerj

PPh Pasal 4 ayat 2

PPh Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI Pengertian - Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dipotong Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final. - Termasuk bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. Objek dan Tarif Atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI dikenakan PPh final sebesar: a. 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). b. 20% (duapuluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri. Pemotong PPh Pemotong PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto adalah : - Bank Pembayar Bunga; - Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan dan Bank yang me

Perbedaan administrasi publik dan administrasi swasta

·       Graham Allison (1986) dalam artikelnya pernah menuliskan beberapa perbedaan antara manajemen swasta dan manajemen publik.. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain: 1. Perspektif waktu Manajer publik mempunyai perspektif waktu yang lebih pendek sesuai kepentingan dan kalender politik dibanding manajer swasta. Manajer swasta bisa dikatakan punya waktu yang hampir tidak terbatas. Pembatasan waktu bagi manajer swasta dibatasi oleh kemampuannya sendiri, bisa kemampuan keuangan maupun kemampuan keahlian. Tetapi kalau manajer publik tergantung prestasi, peta politik, dan waktu rotasi jabatan. 2. Lama waktu pelayanan Lamanya pelayanan yang diberikan oleh manajer yang ditunjuk secara politis relatif singkat. Sementara itu manajer swasta cenderung memiliki masa kerja yang relatif lebih lama. 3. Standar ukuran keberhasilan Standar dan ukuran keberhasilan dari manajemen publik lebih kabur atau sulit disepakati dibanding standar atau ukuran untuk menilai keberhasilan m