Skip to main content

Restitusi PPN




    Pengertian Restitusi
Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan pajak atas konsumsi, yang mengandung pengertian bahwa PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis.
Sebagai pemikul beban pajaknya adalah konsumen sehingga pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan  barang kena pajak (BKP) atau penyerahan jasa kena pajak (JKP) sebenarnya bukan sasaran pengenaan PPN Berdasarkan hal tersebut, maka PPN yang dibayar oleh PKP atas pembelian BKP atau penerimaan JKP dari PKP lain yang disebut pajak masukan, dapat diperhitungkan (dikreditkan) dengan PPN yang dipungut atas penyerahan BKP atau JKP kepada pembeli atau penerima yang disebut pajak keluaran atau dapat disebut pengkreditan pajak masukan.(Untung Sukardji, 2011).
Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-122/PJ/2006, pengertian restitusi PPN dan PPnBM adalah sebagai berikut :
1.     Restitusi PPN adalah kelebihan pajak masukan terhadap pajak keluaran dalam suatu masa pajak tertentu yang atas kelebihan tersebut diminta kembali (restitusi) sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.
2.     Restitusi PPnBM adalah kelebihan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor yang atas kelebihan tersebut diminta kembali (restitusi) sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Pajak pertambahan nilai.



Dasar Hukum Restitusi

Berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang pajak pertambahan nilai (PPN) pada pasal 9 ayat (4), ayat (4a), ayat (4b), ayat (4c), ayat (4d), dan ayat (4f), pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Pajak masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) undang-undang tersebut. Berdasarkan hal tersebut, apabila dalam suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus disetor oleh pengusaha kena pajak. apabila dalam suatu masa pajak, pajak masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada pajak keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke masa pajak berikutnya, hal inilah yang mendasari restitusi.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan wajib pajak tidak punya hutang pajak lain. ketentuan restitusi diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan PPN/PPnBM.

Pengembalian atau Kompensasi Kelebihan Pembayaran Pajak (Restitusi)

Pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran pajak oleh negara kepada PKP karena komposisi pajak keluaran lebih kecil daripada pajak masukan, atau lebih lazim disebutkan pajak masukan lebih besar daripada pajak keluaran. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada PKP yang berhak, tidak mempengaruhi penerimaan negara dari sektor pajak karena PKP mengambil uangnya sendiri yang masuk ke kas negara terlalu banyak atau lebih besar dari jumlah pajak yang seharusnya disetor. Dalam hai ini, terdapat prosedur restitusi kepada PKP dalam hal waktu mengajukan pengembalian, yaitu sebagai berikut:
1.  PKP hanya dapat mengajukan permohonan pengembalian (restitusi) pada akhir tahun.
            Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak (restitusi) pada akhir tahun bukuyaitu bagi PKP Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun kalender.
2.  PKP yang dapat mengajukan permohonan pengembalian (Restitusi) pada setiap masa pajak
a.  PKP yang melakukan ekspor BKP Berwujud;
b.  PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN
c.  PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak dipungut;
d.  PKP yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
e.  PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/atau
f.   PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang PPN. (Isi Pasal 9 ayat (2a) UU PPN : Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan).

Dalam mekanisme PPN berdasarkan undang-undang PPN, pengkreditan pajak masukan tidak perlu memenuhi syarat bahwa:
1.  PKP pembeli BKP/penerima JKP (selanjutnya disebut PKP penerima faktur pajak) sudah membayar PPN kepada PKP penjual BKP atau pemberi JKP (PKP pembuat faktur pajak). Meskipun PKP penerima faktur pajak belum membayar PPN yang terutang kepada PKP pembuat faktur pajak, sepanjang faktur pajak sudah diterima, maka PPN yang tercantum dalam faktur pajak tersebut, sudah dapat dikreditkan. Jika ditemukan data bahwa PKP pembuat faktur pajak belum melaporkan PPN tersebut dalam SPT masa PPN-nya, maka kantor pelayanan pajak yang bersangkutan wajib menagih kepada PKP pembuat faktur pajak. Apabila dari pengkreditan pajak masukan ini menimbulkan lebih bayar, maka PKP yang mengkreditkan pajak masukan tetap berhak memperoleh pengembalian.
2.  PKP pembuat faktur pajak sudah melaporkan pajak keluaran yang terkait dalam SPT masa PPN-nya.
PKP penerima faktur pajak yang belum membayar PPN yang terutang kepada PKP pembuat faktur pajak sebagaimana hal tersebut diatas pada poin a, dapat mengkreditkan pajak masukan yang tercantum dalam faktur pajak yang diterima, apalagi bagi PKP penerima faktur pajak yang sudah membayar PPN kepada PKP pembuat faktur pajak jelas dapat mengkreditkan pajak masukan yang tercantum dalam faktur pajak. Hal tersebut juga tidak dipersyaratkan bahwa PKP pembuat faktur pajak sudah melaporkan PPN dimaksud sebagai pajak keluaran  dalam SPT masa PPNnya.

Cara Pengajuan Permohonan Pengembalian (Restitusi)

PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan Pajak dengan menggunakan  cara sebagai berikut, yaitu:
SPT Masa PPN, dengan cara mengisi (memberi tanda silang) pada kolom "Dikembalikan (restitusi)"


atauSurat permohonan tersendiri, apabila kolom "Dikembalikan (restitusi)" dalam SPT Masa PPN tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan Pajak.
Permohonan pengembalian kelebihan Pajak diajukan kepada KPP di tempat PKP dikukuhkan. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah permohonan pengembalian kelebihan Pajak ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak.

Pengambilan PPN dan PPnBM yang Dibayar Oleh Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri

Pasal 16E UU PPN 1984 yang merupakan pasal yang disisipkan melalui UU Nomor 42 tahun 2009, formulanya sebagai berikut:
1.  Pajak Pertambahan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa keluar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar dan Pajak Penjualan negeri dapat diminta kembali.
2.  Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembalisebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.    Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah
b.    Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberanghkatan keluar Daerah Pabean, dan
c.    Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5). Kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai  Nomor Pokok Wajib Pajak
3.  Permintaan kembali Pajak Pertambahan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di Bandar udara yang ditetepakan oleh Menteri Keuangan.
4.  Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
a.    Paspor
b.    Pas naik (boarding pas) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean
c.    Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
5.  Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan ini merupakan refleksi dari perinsip destinasi, bahwa PPN dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa akan dikonsumsi.  Seharusnya mekanisme ini tidak ditempatkan di Pasal 16E satu kelompok dengan pasal yang lain di bawah Bab VA yang berjudul Ketentuan Khusus. Makna dari “Ketentuan Khusus” disini adalah ketentuan yang melanggar prinsip PPN, sebagai berikut:
1.    Pasal 16A menentukan bahwa Pemungut PPN yang bersatatus sebagai pembeli BKP atau penerima JKP, diberi wewenang bahkan diwajibkan memungut pajak yang terutang, padahal berdasarkan Pasal 3A ayat (1) pihak yang wajib memungut PPN adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP.
2.    Pasal 16B mengatur tentang fasilitas PPN, padahal PPN menghendaki dirinya netral. Netralitas ini dapat dicapai apabila PPN bersikap sama terhadap seluruh PKP, tidak ada perbedaan perlakuan. Sedangkan fasilitas mengandung makna perlakuan khusus terhadap wajib pajak atau PKP tertentu.
3.    Pasal 16C mengatur tentang pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan orang pribadi atau badan. Sementar itu, dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c ditegaskan bahwa salah satu syarat suatu penyerahan JKP dapat dikenakan PPN adalah penyerahan itu dilakukan dalam kegiatan usaha atau PKP.
4.    Pasal 16D secara terselubung mengenakan PPn atas penyerahan BKP yang merupakan aktiva yang menurut tujuan semua tidak untuk diperjual-belikan, berarti bukan barang dagangan, sehingga aktivitas ini dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP.
5.    Pasal 16E merupakan pasal baru yang disisipkan melalui UU nomer 42 Tahun 2009 jelas-jelas melanggar prinsip PPN sebagai pajak tidak langsung yang memisahkan antara pemikul beban pajak dengan penanggung jawab pembayaran pajak. Penanggung jawab pembayaran pajak adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP, sedangkan penerima BKP atau penerima JKP adalah pemikul beban pajak. Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan dalam mekanisme PPN, bukan tanggungjawab PKP penerima BKP atau JKP.
Diantara pasal-pasal penyimpang tersebut yang dapat ditoleransikan hanya pasal 16B karena meskipun melanggar prinsip PPN tetapi tidak menambah beban rakyat.

Penelitian dan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP)

Penelitian dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan oleh:
1.    PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP. Pada pasal 17C UU KUP berisi tentang WP dengan Kriteria tertentu (WP Patuh) yang ditetapkan dengan keputusan direktur jenderal pajak. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi:
a.  Wajib pajak tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b.  Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
c.  Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
2.PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP yang berisi tentang wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
a.  Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
b.  Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu
c.  Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
d.  Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa  Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
3.PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN.Penelitian oleh DJP dilakukan terhadap kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang PPN, kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, dan kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang disebutkan diatas, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan oleh PKP, harus menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama 1 bulan sejak saat diterimanya permohonan pengembalian kelebihan Pajak.
Apabila jangka waktu 1 bulan tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan SKPPKP, permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan dianggap dikabulkan dan SKPPKP harus diterbitkan paling lama 7 hari setelah jangka waktu 1 bulan tersebut berakhir.
SKPPKP tidak diterbitkan terhadap PKP beresiko rendah apabila hasil penelitian menyatakan Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang- Undang PPN. Hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar, lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap, dan/atau pembayaran Pajak tidak benar.
Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan, terhadap PKP beresiko rendah tersebut harus diberikan pemberitahuan secara tertulis dengan menggunakan formulir lampiran PMK-72/PMK.03/2010 dan permohonan pengembalian kelebihan Pajak; dari PKP ini akan diproses berdasarkan ketentuan Pasal 17B UU KUP.

Pemeriksaan dan SKP

Pemeriksaan dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan oleh PKP selain:
a.      PKP Kriteria tertentu (Pasal 17 C UU KUP),
b.      PKP yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17 D UU KUP),
c.      PKP Resiko rendah (Pasal 9 ayat 4C UU PPN).
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan Pajak harus menerbitkan SKP paling lama 12 bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan Pajak diterima. Jangka waktu 12 bulan ini tidak berlaku dalam hal terhadap PKP sedang dilakukanpemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 bulan tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan paling lama 1 bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
Prosedur pemeriksaan terhadap PKP pasal 17C UU KUP, pasal 17D UU KUP, dan PKP beresiko rendah, untuk hal ini Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan Pajak dapat melakukan pemeriksaan kepada PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP, atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP.
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan SKPKB, PKP kriteria tertentu atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu wajib membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan SKPKB, PKP berisiko rendah wajib membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan, paling lama 24 bulan, dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) UU KUP.


Comments

Popular posts from this blog

PENILAIAN PRESTASI KERJA DAN MANAJEMEN KINERJA

Penilaian metode dan pendekatan dalam penilaian prestasi kerja karyawan. Suatu penerapan penilaian prestasi pekerjaan dikatakan baik bila penilaian prestasi pekerjaan diarahkan bukan untuk menilai orangnya, tetapi yang kita nilai adalah hasil pekerjaan yang telah dilakukannya. Suatu proses penilaian prestasi pekerjaan dapat dikatakan baik, apabila mampu: a menghasilkan umpan balik hasil prestasi kerja yang jelas, sehingga yang bersangkutan tahu apa yang diharapkan darinya 1. PENILAIAN PRESTASI KERJA   Setelah penarikan atau pemilihan karyawan, kinerja karyawan dari periode ke periode di nilai oleh perusahaan untuk menentukan karyawan tersebut mendapatan nilai baik dalam bekerja atau tidak. Penilaian prestasi kerja (performance apprasial) adalah proses melalui mana organisasi – organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan – keputusan personalia dan memperbaiki umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerj

Hierarki Kebutuhan Manusia Menurut Abraham Maslow

Abraham maslow seorang psikolog dari  amerika menjelaskan 5 tingkat kebutuhan manusia yang disusun dalam suatu piramida yang dimana lima tingkat kebutuhan itu disebut hirarchi kebutuhan maslow. menurut maslow hirarchi kebutuhan manusia dapat di pakai untuk menggambarkan motivasi seseorang, yang berdasar pada asumsi berikut : 1. kebutuhan seseorang tergantung  dari apa yang telah di punyainya, jika satu kebutuhan sudah terpenuhi seseorang cenderung akan berusaha memenuhi kebutuhan lainnya. 2. kebutuhan dilihat dari pentingnya ada 5 kebutuhan manusia : fisiologi, keamanan,bersosialisasi dan saling menyayangi, penghargaan, dan perwujudan diri/aktualisasi diri. berikut kelima kebutuhan tersebut dan penjelasannya :   Kebutuhan fisiologis (Physiological) Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, d

Perbedaan administrasi publik dan administrasi swasta

·       Graham Allison (1986) dalam artikelnya pernah menuliskan beberapa perbedaan antara manajemen swasta dan manajemen publik.. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain: 1. Perspektif waktu Manajer publik mempunyai perspektif waktu yang lebih pendek sesuai kepentingan dan kalender politik dibanding manajer swasta. Manajer swasta bisa dikatakan punya waktu yang hampir tidak terbatas. Pembatasan waktu bagi manajer swasta dibatasi oleh kemampuannya sendiri, bisa kemampuan keuangan maupun kemampuan keahlian. Tetapi kalau manajer publik tergantung prestasi, peta politik, dan waktu rotasi jabatan. 2. Lama waktu pelayanan Lamanya pelayanan yang diberikan oleh manajer yang ditunjuk secara politis relatif singkat. Sementara itu manajer swasta cenderung memiliki masa kerja yang relatif lebih lama. 3. Standar ukuran keberhasilan Standar dan ukuran keberhasilan dari manajemen publik lebih kabur atau sulit disepakati dibanding standar atau ukuran untuk menilai keberhasilan m