A. Latar Belakang
Penggantian Pajak Penjualan(PPn) Dngan Pajak Pertambahan Nilai(PPN)
Pajak Pertambahan
Nilai (value Added Tax) untuk pertama kali diperkenalkan oleh Carl Friedriech
von Siemens, seorang industrialis dan konsultan pemerintah jerman pada tahun
1919. Namun ironisnya justru pemerintah Prancis yang pertama kali menerapakan
PPN dalam sistem perpajakannya pada tahun 1954, sedangkan jerman menerapkannya
pada awal tahun 1968.
Indonesia baru
mengadopsi PPN pada tanggal 1 April 1985 menggantikan Pajak Penjualan (PPn)
yang sudah berlaku di Indonesoa sejak tahun 1951. Dengan Undang- undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, Pajak Penjualan
berlaku di Indonesia sejak 1Oktober 1951. Undang-undang ini dinamakan UU PPn
1951. Kemudian dengan UU Nomor 35 Tahun 1953, UU Darurat tersebut ditetapkan
menjadi Undang-undang. UU PPn 1951 yang sudah memberikan dedikasinya selama
lebih dari 30 tahun, dalam “Reformasi Sistem Perpajakan Nasional 1983” yang
lebih kenal dengan sebutan “Tax Reform 1983”, diganti dengan Pajak Pertambahan
Nilai. Adapun latar belakang penggantian ini, adalah :
1.
UU PPn 1951 telang
berulang kali diubah sehingga sulit dipahami dan dilaksanakan.
2.
Dalam pelaksanaannya
UU PPn 1951 menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga PPn menjadi tidak
netral baik dalam perdagangan didalam negeri maupun internasional.
3.
Mengandung dualisme
sistem pemungutan, yaitu bagi wajib pajak yang mampu menyelanggarakan pembukuan
menggunakan “self assessments system” sedangkan bagi yang tidak mampu
menyelanggarakan pembukuan menggunakan “official assesment system”.
4.
Variasi tarif yang
cukup banyak, sampai 9 macam tarif, menyulitkan tindakan pengawasan terhadap
kepatuhan wajib pajak. Sisi negatif PPn ini terutama pengenaan pajak berganda
mendiring wajib pajak untuk menghindar dari pengenaan PPn bahkan kalau perlu
mereka melakukan penggelapan pajak. Menghindar dari pengenaan pajak (tax
avoidance) mash tergolong sebagai tindakan legal misalnya beberapa perusahaan
dalam satu rangkaian beberapa mata rantai jalur produksi atau distribusi yang
sejenis melakukan peleburan usaha, sehingga beberapa mata rantai produksi atau
distribusi yang sejenis melakukan peleburan usaha, sehingga beberapa mata
rantai produksi atau distribusi lolos dari pengenaan PPn. Misalnya perkebunan
kapas, pabrik benang, pabrik tekstil, perusahaan garmen meleburkan diri menjadi
satu perusahaan gaemen terpadu. Dengan demikian, maka penyerahan bahan baku
antar divisi tersebut tidak dapat dikenakan PPn karena berada dalam satu
perusahaan terpadu. Bagi pengusaha yang lain yang lebih suka mengambil jalan
pintas, lebih memilih menyelundupkan
atau menggelapkan pajak dengan cara melaporkan jumlah peredaran bruto
lebih rendah rendah daripada yang sebenarnya.
B. Legal Karakter Pajak
Pertamabahan Nilai
Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari
barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa
inggris, PPn disebut Value ADDED Tax
(VAT) atau Goods and Service Tax (GST).
PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh
pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain,
penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang dia
tanggung. Mekanisme pemungutan, penyetoran , dan pelaporan PPN ada pada pihak
pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang
harus disetorkan oleh PKP, dikenal
istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang
dipungut ketika PKP membeli, memperoleh, dan membuat produksnya.
Berikut adalah legal
karakter dari Pajak Pertamabahan Nilai :
1. PPN adalah pajak
tidak langsung
PPN ditinjau dari
sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak yang menempatkan kedudukan pemikul
beban pajak dengan kedudukan pennaggung jawab pembayaran pajak ke kas Negara
pada pihak-pihak yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk melindungi pembeli atau
penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang negara (pemerintah).
2. PPN adalah pajak
objektif
Sebagai pajak
objektif mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN
sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. PPn tidak mempertimbangkan kondisi
sebjektiktifitas pajak. Hal ini menimbulkan dampak regresif . Regresivitas PPN
mengandung pengertian, semakin tinggi kemampuan konsumen, semakin ringan beban
pajak yang dipikul. Sebaliknya , semakin rendah kemampuan konsumen, semakin
berat beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi regresivitas PPN adalah dengan
diberlakukannya PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah) sebagai pendamping
PPN.
3. PPN bersifat Multy
Stage Levy
PPn Multy Stage Levy
mengandung pengerrtian bahwa PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur
produksi dan jalur distribusi barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. PPN
dikenakan berulang-ulang pada setiap mutasi Barang kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak. Meskipun demikian, PPN tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (non
konsumsi).
4. Pengahitungan PPN
Terutang Untuk Dibayar ke Kas Negara Mengggunakan Indirect Substraction Method
Indirect Substraction
Method adalah metode penghitungan PPn yang akan disetor ke kas negara dengan
cara mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan berang dan
jasa. UU PPN Indonesia menganut indirect subtractiob method. Persyaratan mutlak
dari metode ini adalah adanya Faktur Pajak. Dalam hukum pajak, kegiatan
mengurtangkan pajak dengan pajak dinamakan “tax credit”, oleh karena itu metode
ini juga dinamakan “credit methode” yaitub mengkreditkan pajak yang dibayar
kepada penjual atau pengusaha jasa yang dinamakan “pajak masukan” dengan pajak
yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan “Pajak Keluaran”.
5. PPN Bersifat Non
Kumulatif
Sifat non kumulatif
dari pajak Pertambahan Nilai terletak pada mekanisme pemungutannya yang
dikenakan pada Nilai tambah (Added Value) dari Barang kena Pajak dan jasa
Kena pajak dan tidak diperhitungkan di
akhir tahun. Diharapkan dengan sifat seperti ini akan mengurangi hasrat para
wajib pajak untuk menghindari bahkan menyelundupkan pajak Pertambahan Nilai
yang menjadi kewajibannya.
Nilai tambah adalah
proses poduksi atau distribusi barang atau jasa. Untuk mengenakan PPN atas
nilai tambah dapat dilakukan melaului 3 methode:
a.
Subtraction method
Yaitu dengan cara
mengalihkan tarif PPN dengan selisih antara harga jual dengan harga beli.
b.
Indirect subtraction
method
Yaitu dnegan cara
mengurangkan PPn yang dipungut oleh penjual atau pengusaha jasa atas penyerahan
barang atau jasa, dengan PPN yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa lain
atas perolehan barang atau jasa.
c.
Addition method
Yaitu mengalihkan
tarif PPN dengan hasil penjumlahan unsur-unsur.
6. PPN Indonesia
Menganut tarif Tunggal
PPN Indonesia menganut tarif tunggal
sebesar 10%. Dengan Peraturan Pemerintah tarif ini dapat dinaikkan paling
tinggi menjadi 15% atau diturunkan paling rendah menjadi 5%. Sisi negatif tarif
tunggal adalah mem pertajam
regresivitas PPN. Untuk memperkecil sisi negatif ini, UU PPN Indonesia
mengenakan PPnBM sebagai pajak tambahan disamping atas penyerahan Barang Kena
pajak yang tergolong mewah. Sisi positif menerapkan tarif tunggal adalah
sedrhana baik dalam pelaksanaan maupun pengawasan. Penyebutan tarif tunggal
adalah sederhana baik dalam pelaksanaan maupun pengawasan . Penyebutan tarif
tunggal sebenarnya tanpa mempertimbangkan tarif 0% yang dikenakan atas ekspor
Barang Kena Pajak dan pengecualian terhadap beberapa objek yang dipandang sangat esensial untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari termasuk kebutuhan aka perawatan kesehatan. Tarif
0% merupakan tarif teknis berdasarkan pertimbangan ekonomi yang dikenakan atas
ekspor barang kena Pajak dimaksudkan atas perolehan Barang Kena pajak atau Jasa
Kena Pajak yang dapat dikreditkan sehingga tidak perlu dibebankan sebagai
biaya.
7. PPN Adalah Pajak Atas Knsumsi dalam Negeri
PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa
yang dikonsumsi dalam daerah pabean Republik Indonesia. Ini sesuai sengan
destination principle (prinsip tempat tujuan) yang diguankan dalam pengenaan
yaitu PPN dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa akan dikonsumsi.
8. PPN yang diterapkan di Indonesia adalah
PPN tipe konsumsi
PPN Indonesia termausk tipe konsumsi
artinya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk perolehan barang modal dapat
dikurangi dari dasar pengenaan pajak. Pajak masukan atas perolehan barang modal
dapat dikreditkan dengan Pajak keluaran sehingga barang modal dikenakan PPNnya
hanya satu kali. PPN sebagai pajak atas konsumsi memberikan indikasi bahwa PPN
bukan pajak atas kegiatan bisnis.
C. DASAR HUKUM PAJAK PENGHASILAN PERTAMBAHAN
NILAI (PPN)
Dasar hukum pengenaan pajak pada awalnya diatur UU no.8 tahun 1983 tentang
pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah
yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984 yang merupakan salah satu
produk reformasi sistem perpajakan di
Indonesia (tax reform) tahun 1983 sebagai pengganti UU no.19 tahun 1951 Drt. Jo
UU no.35 tahun 1953 tentang Pajak Penjualan. Kemudian diubah menjadi UU no.11
tahun 1994. Perubahan ke II terjadi pada tahun 2000 dalam UU no.18 tahun 2000,
yang kemudian terakhir kali disempurnakan dalam UU no. 42 tahun 2009 tentang
pajak pertambahna nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
Adapun tujuan perubahan ini adalah:
·
Lebih meningkatkan ke[astian hukum dan
keadilan
·
Menciptakan sistem perpajakan sederhana
dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengaman penerimaan negara.
Latar belakang perubahan Undang-undang Perpajakan :
v Belum adil walaupun sudah dilaksanakan kewajibannya.
v Kurang memberikan kemudahan bagi wajib Pajak dan melaksanakan kewajibannya
v Kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana.
Adapun Peraturan-Peratuaran Tambahan Yang Mengatur Tentang PPN adalah
sebagai berikut :
§ PP no. 143 tahun 2000 jo PP no. 24 tahun 2000 tentang pelaksanaan UU PPN
§ PP no. 144 tahun 2000 tentang Jenis Barang dan jasa yang Tidak Dikenakan
Pajak
§ PP no. 145 tahun 2000 jis PP no. 60 tahun 2002 dan PP no.70 tahun 2002
serta PP no.6 tahun 2003 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang dikenakna Pajak penjualan atas Barang mewah.
§ PP no. 14 tahun jo PP no.38 tahun 2003 tentang Impor dan atau Penyeerahan
Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan pajak Pertambahan
Nilai.
§ PP no. 12 tahun 2001 jis PP no.43 tahun 2002 dan PP no. 4 tahun 2003
tentang Impor dan atau Penyerahan barang kena pajak Tertentu yang bersifat
strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
§ PP no. 63 tahun 2003 tentang Perlakuan PPn dan PPnBM di kawasan Berikat daerah Industri Pulau Batam,
sebagaimana telah diubah dengan PP no. 30 tahun 2005
D.
Sistematika dan Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan
penyerahan barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP)wajib memungut PPN
dari pembeli atau penerima barang kena pajaka atau jasa kena pajak yang bersangkutan
sebesar 10% dari harga jual atau
penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya.
2.
PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak
tersebut merupakan Pajak keluaran (Pot Put Tax), bagi PKP Penjual BKP atau JKP, yang sifatnya sebagia
pajak yang harus dibayar (hutang pajak).
3.
Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian
atau perolehan BKP atau JKP yang dikenan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak
Masukan (In Put Tax), yang sifatnya
sebagai pajak yang dibayar dimuka, sepanjang BKP atau JKP yang dibeli tersebut
berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
4.
Untuk setiap masa pajak (setiap bulan),
apabila jumlah Pajak Keluar an lebih besar daripada Pajak masukan, maka
selisihnya harus disetor ke Kas Negara
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
berikutnya. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada
Pajak keluaran, maka selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau
dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
5.
Pengusaha kena Pajak diatas wajib
menyampaikan Laporan perhitungan PPN setiap bulan (SPT Masa PPN) ke Kantor
Pelayanan Pajak terkait selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
Contoh :
1.
Pada bulan september 2002, PT ABADI
melakukan penyerahan BKP sebesar Rp 100 Milyar, PPN yang dipungut sebesar 10%
atau Rp 10 Milyar. Pembelian BKP atau JKP yang dilakukan PT ABADI adalah 80
Milyar, sehingga PPN yang dibayar atas pembelian BKP atau JKP tersebut sebesar
10% dari 80 Milyar atau Rp 8 Milyar.
Perhitungan dan pengkreditan PPN yang
dilakukan PT ABADI untuk masa pajak September 2002 adalah :
Pajak
Keluaran Rp 10 milyar
Pajak
masukan Rp 8 milyar
PPN
Kurang bayar Rp 2 Milyar
Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 2 Milyar tersebut harus disetorkan kas
negara melalui Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 Oktober 2002. Dan
penghitungan tersebut dituangkan dalam SPT Masa PPN Masa september 2002 yang
harus disampaikan ke Kantor pelayanan pajak dimana PT ABADI terdaftar paling
lambat tanggal 20 Oktober 2002.
2. Pada bulan Oktober 2002, PT. ABADI melakukan
penyerahan BKP sebesar Rp 120 milyar, PPN yang dipungut 10% atau R 12 Milyar.
Pembelian BKP atau JKP yang dilakukan PT ABADI adalah Rp 140 Milyar, sehingga
PPN yang dibayar atas pembelian BKP atau JKP tersebut sebesar 10% dari 140
Milyar atau Rp 14 Milyar. Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT
ABADI untuk Masa pajak Oktober 2002 adalah:
Pajak
Keluar Rp. 12
Milyar
Pajak
Masukan Rp. 14 Milyar
PPN
lebih bayar Rp 2 Milyar
Jumlah PPN lebih bayar sebesar Rp 2 Milyar teersebut dapat dimintakan
kembali (restitusi) atau dikompensasikan ke masa pajak November 2002.
Penghitungan tersebut dituangkan dalam SPT Masa PPN masa 2002 yang harus
disampaikan ke kantor Pelayanan Pajak dimana PT. ABADI terdaftar paling lambat
tanggal 20 November 2002.
DAFTAR PUSTAKA
Sukardi , Untung. 2011. POKOK-POKOK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.Jakarta:Rajawali Pers
.
Comments
Post a Comment